PENDAHULUAN :
Perjalanan Perempuan :
Perempuan sering dipanggil dengan ‘wanita’ (bhs.Sans), berarti lawan dari jenis laki-laki, juga diartikan perempuan (lihat :KUBI).
Ada pula yang memanggil wanita dengan sebutan ‘perempuan.’ (dari bahasa kawi,), “empu” berarti pemimpin (raja), orang pilihan, ahli, yang pandai, pintar dengan segala sifat keutamaan (KUBI)yang lain. Bila istilah ini yang lebih mendekati kebenaran, saya lebih cenderung memakai kata perempuan selain wanita. Karena di dalamnya tergambar banyak peran.
Di masa jahiliyah telah terjadi pelecehan gender, terbukti dengan kelahirannya di sambut kematian. Keberadaannya pada zaman jahiliyah sangat tidak diterima, ada paham bahwa wanita pembawa aib keluarga. Jabang-jabang bayi itu mesti dibunuh, begitu kesaksian Kitab suci tentang perangai orang-orang jahiliyah (lihat QS.16,an-Nahl :57-60). Hal yang sama juga didapati dimasa Fir’aun, perlakuan terhadap anak lelaki yang di lahirkan kaum Musa (keluarga ‘Imran) mesti dibunuh (mirip rasilalisme, atau ethnic cleansing).
Alquran menyebut perempuan dengan Annisa’ atau Ummahat, artinya sama dengan ibu, saya artikan dengan “Ikutan Bagi Umat.” Annisa’ adalah tiang suatu negeri . Nabi saw menyebutkan, dunia ini indah dengan berbagai perhiasan (mata’un), namun perhiasan paling indah adalah isteri‑isteri yang saleh (yang dapat diartikan dengan perempuan atau ibu yang tetap pada perannya dan konsekwen dengan citranya) (Al Hadits). Tafsir Islam tentang kedudukan perempuan ini menjadi konsep utama yang mesti diyakini seorang Muslim.
Sejak dua millenium berlalu Alquranul Karim telah menetapkan perempuan pada derajat yang sama dengan jenis laki‑laki dengan penamaan azwajan atau pasangan hidup (lihat Q.S.16:72, 30:21, 42:11). Posisi ini jauh berbeda dengan masa sebelumnya, bahkan di daerah yang belum tersentuh konsep amalan ini, masih ada pertanyaan apakah makhluk perempuan tergolong jenis manusia yang punya hak dan kewajiban yang sama dengan laki‑laki? Atau hanya sekedar benda yang boleh dipindah‑tangankan sewaktu‑waktu atau untuk diperjual‑belikan sebagai komoditi budak yang menjadi sumber pendapatan bagi pemiliknya?
Kata woman dalam bahasa Inggris berasal dari “womb man” samalah artinya dengan manusia berkantong, sebuah pemahaman klasik tentang makhluk setengah manusia yang mempunyai kantong dan tugasnya menjadi tempat tumbuh calon manusia. Ah “dia” kan hanya womb man atau manusia kantong (“manusia” yang hanya kantong tempat manusia).
Tetapi di dalam budaya Minangkabau yang kemudian berkembang menjadi “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah” menempatkan wanita pada posisi ‘orang rumah’, “induak bareh”, “amai paja”, dan “pemimpin” di masyarakatnya dengan sebutan “bundo kandung”, sebenarnya tersirat padanya kekokohan kedudukan perempuan Minangkabau pada posisi sentral. Di dalam budaya Minangkabau perempuan menjadi pemilik seluruh kekayaan, rumah, anak, suku bahkan kaumnya.
Namun, laki-laki dalam oposisi-biner perannya menjadi pelindung, pemelihara dan penjaga harta untuk ‘perempuan’-nya dan ‘anak turunan’-nya.
Maka generasi Minangkabau yang dilahirkan senantiasa bernasab ayahnya (laki-laki) dan bersuku ibunya (perempuan), suatu persenyawaan budaya yang sangat indah.
Hak Asasi Perempuan
Hak asasi perempuan yang gencar diperjuangkan hingga hari ini, di dalam konsep Islam sudah diperlakukan sangat sempurna sejak 15 abad lalu, kendatipun dizaman maju ini masih terdapat beberapa kawasan atau negeri yang berpandangan ragu‑ragu mengakui perempuan.
Agama Islam menempatkan perempuan (ibu) menjadi mitra setara (partisipatif) bagi jenis laki‑laki. Kedudukan lelaki adalah pelindung bagi wanita (qawwamuuna ‘alan‑nisaa’), karena secara lahiriyah dan bathiniyah (fisik dan mental) lelaki memiliki kelebihan kekuatan badan, kesehatan fikiran, keluasaan penalaran, kemampuan ekonomi, kecerdasan pikiran, ketabahan, kesigapan dan kelebihan anugerah (QS. An Nisa’ 34). Wanita di tuntut menjadi ‑‑ mar’ah shalihah (=perempuan yang shaleh, yang tidak hanya sekedar hangat /warm) tapi mampu menjaga diri, memelihara kehormatan dan kepatuhan (qanitaat) taat kepada Allah, dan hafidzaatun lil ghaibi bimaa hafidzallahu (= memelihara kesucian faraj di pembelakangan pasangannya), karena Allah telah memuliakan mereka dengan faraj itu. Islam menempatkan perempuan pada derajat mulia. Dalam posisi ini, tiada suatu keindahan yang bisa melebihi perhiasan / penampilan “indahnya wanita‑wanita shaleh” (Al Hadist). Menurut kodratnya, wanita memiliki peran ganda, sebagai penyejuk hati dan pendidik utama. Kondisi ini menyebabkan sorga terhampar dibawah telapak kaki wanita (ibu). Didalam naungan konsep Islam, para wanita memiliki kepribadian sempurna, pergaulan ma’ruf dan ihsan, kasih sayang dan cinta, kelembutan dan perlindungan, kehormatan dalam perpaduan hak dan kewajiban. Dalam konteks Islam ini, sesungguhnya emansipasi tidak dapat diartikan perjuangan persamaan derajat, karena pada kedua jenis jender ini sudah terdapat kesetaraan hak yang wajar. Tidak melebihi dan tidak melewati kodrat fitrahnya masing-masing. Sesunguhnya yang diperlukan adalah pemahaman dan pengamalan bulat tentang peran perempuan sebagai mitra, yang saling terkait, saling membutuhkan, dan terjauh dari eksploatasi. Konsep pemahaman azwaajan itu mengandung makna pasangan dengan posisi kesetaraan. Dapat dipahami sebenarnya pengunaan kata pasangan (azwajan) apabila dikaitkan dengan pemahaman bahwa tidak punya arti sesuatu kalau pasangannya tidak ada dan tidak jelas eksistensi sesuatu kalau tidak ada yang setara di sampingnya. “Pasangan”, mungkin tidak ada kata yang lebih tepat dari azwajan itu.
Di belahan dunia lainnya (mungkin di barat dan bisa juga di timur), memang ada gejala kecenderungan penguasaan hak‑hak perempuan, bahkan paling akhir adalah hilangnya wewenang “ibu” dalam rumah tangga sebagai salah satu unit inti dalam keluarga besar (extended family).
a). Secara moral, perempuan punya hak utuh menjadi IBU, adalah Ikutan Bagi Umat. Masyarakat yang baik lahir dari Ibu yang baik. Dalam hubungan sosial dapat dirasakan bahwa kaum Ibu pemelihara tetangga, dan perekat silaturrahim.
b). Di dalam Ajaran Islam, penghormatan kepada Ibu menempati urutan kedua sesudah iman kepada Allah. Bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Ibu, diwasiatkan sejalan untuk seluruh manusia. Penghormatan kepada Ibu (kedua orang tua), merupakan disiplin hidup yang tak boleh diabaikan. Disiplin ini tidak terbatas kepada adanya perbedaan dari keyakinan yang di anut. Bahkan, dalam hubungan pergaulan duniawi sangat ditekankan harus dipelihara jalinan yang baik (ihsan) (lihat QS. 31, Luqman : 14-15).
Sistematika Alquran didalam universalitas (syumuliyah) mampu menjawab setiap tantangan zaman (QS. Al Baqarah, 2 dan 23). Maka, yang mampu menerima/menjalankan petunjuk Alquran tentulah yang bertaqwa (memelihara diri) juga. Karena itu, tidak ada keraguan didalam Alquran untuk manusia menjiwai hidayah Islam. Karena Allahul Khaliqul ‘alam telah menciptakan alam semesta dengan sempurna, tidak ditemui di dalamnya kesiasiaan (QS. 3, Ali ‘Imran, ayat 191), diaturnya dengan satu aturan lurus sesuai fithrah (kejadian) yang tetap (QS. 30, Ar Rum, ayat 30) dalam satu perangkat natuur‑wet undang‑undang alami, atau sunnatullah dan tidak berjalan sendiri‑sendiri, agar satu sama lain tidak berbenturan. Begitulah kandungan nilai‑nilai pendidikan terikat kokoh oleh kasih dan sayang, karena hakekat semua ini datang dan terjadi karena Rahman dan RahimNya serta akan berakhir dengan menghadapNya. Kewajiban asasi setiap insan menjaga diri dan keluarga dari bencana neraka (QS. At Tahrim :6) dengan memakaikan hidayah Alquran.
c). Di dalam alih generasi, maka perempuan atau ibu menjadi pembentuk generasi berdisiplin dan memiliki sikap mensyukuri segala nikmat Allah. Dari rahim dalam Ibu dilahirkan manusia yang bersih (menurut fithrah, beragama tauhid). Maka, pembinaan sektor keyakinan (agama) dan kebiasaan hidup (adat istiadat, budaya), akan menjadi faktor terpenting dan menentukan didalam membantu dan meraih keberhasilan pendidikan anak (generasi), berdasar akhlak Islami. Makhluk ‑‑ terutama manusia ‑‑ dengan keyakinan (haqqul yaqin) tentang Khaliq (Allah) dan makhluk (alam mayapada) ini, akan tumbuh menjadi pribadi kokoh (exist) dengan karakter teguh (istiqamah, konsisten) dan tegar (shabar, optimis) dalam menempuh hidup. Rohaninya (rasa, fikiran, dan kemauan) dibimbing keyakinan agama (hidayah iman). Jasmaninya (gerak, amal perbuatan) terbina oleh aturan‑aturan (syari’at Kitabullah dan Sunnah Rasulullah). Begitu perilaku kehidupan menurut mabda’ (konsep) Alquran, bahwa makhluk diciptakan dalam rangka pengabdian kepada Khaliq (QS. 51, Adz Dzariyaat, ayat 56). Maka datangnya risalah Rasulullah SAW memberi ingat manusia agar tidak terperangkap kebodohan dan kelalaian sepanjang masa. Manusia adalah makhluk pelupa (Al Hadist).
d). Di dalam konsep Islam, “di bawah telapak kakinya – perempuan, ibu — terbentang jalan kepada keselamatan (Sorga). Kebahagiaan menanti setiap insan yang berhasil meniti jalan keselamatan yang di ajarkan perempuan (ibu) dengan baik, penuh kepatuhan dan rasa hormat yang tinggi.
Dari dalam lubuk hati perempuan (ibu) yang tulus dan dengan tangannya yang lembut terampil dicetak generasi bertauhid berwatak taqwa, khusyuk (telaten) dalam berkarya (amal) dan kaya dengan rasa malu, berkarakter manusiawi yang akan menjadi inti masyarakat yang hidup dengan tamaddun (budaya). Manusia hidup berbudaya.
Keyakinan kepada satu norma agama dari sudut Islam mesti seiring dengan pokok keyakinan Alquran yang mendiskripsikan agama disisi Allah (QS. Ali ‘Imran, 19) yang kamal, lengkap dan di redhai (QS. Al Maidah, 3) sehingga selain daripadanya tidak diperkenankan dan lebih jauh di dunia dan akhirat merugi (lihat pula QS. Ali ‘Imran, 85). Islam agama wahyu. Membimbing manusia kepada hidayah Islam (QS. Asy Syu’ara, 13), maka kehadiran Nabi Muhammad SAW seakan sebuah bata terakhir dari bangunan indah yang disusun rasul terdahulu. Andaikata Alquran tidak ada maka bangunan indah itu tak kunjung selesai (Al Hadist). Penyempurnaan itu adalah dengan hidayah Iman. Alquran mengajarkan agama yang haq (QS. Al Fath, 28). Konsep tersebut membekali umat Muslim satu toleransi tinggi, tidak boleh memaksakan keyakinannya kepada orang lain yang masih belum mau menerima kebenaran Islam (QS. Al Baqarah, 256), dan diperintah berdada‑lapang menerima kenyataan adanya fanatisme pada ajaran paham turun temurun (QS. Al Kafiruun,6). Tegasnya, seorang Muslim wajib menda’wahkan Islam, menerapkan amar ma’ruf dan nahi munkar (QS. Ali ‘Imran,104), dimulai dari diri sendiri, untuk terhindar dari celaan besar karena suruhan (lihat QS. Al Baqarah, 44 dan QS. Ash‑Shaf, 3). Amar ma’ruf nahi munkar adalah tiang kemashlahatan hidup umat manusia, di dasari dengan Iman billah (QS. Ali ‘Imran, 110) sehingga tercipta satu bangunan umat yang berkualitas (khaira ummah).
Posisi Perempuan Pendidik Utama
Alquran menempatkan perempuan pada posisi azwajan (=pasangan, mitra sejajar/setara, lihat QS.16:72), menjadi factor penentu menciptakan sakinah (kebahagiaan), mewujudkan rahmah, melalui mawaddah kasih sayang (QS.30:21). Citra perempuan sempurna pada posisi sentral IBU (Ikutan Bagi Umat), unit inti dalam keluarga besar (di Minangkabau disebut bundo kanduang), maka perempuan adalah “tiang negeri” (al Hadist). Penghormatan termulia didapati pada ungkapan, “sorga terletak di bawah telapak kaki ibu” (al Hadist).
Dalam perkembangan masa mengikuti gerak globalisasi terjadi perubahan cuaca budaya yang seringkali melahirkan ketimpangan dan kepincangan melebar oleh tidak adanya keseimbangan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan yang sangat menyolok didalam fasilitas, pendidikan, lapangan kerja, hiburan, penyiaran mass‑media, antara kota dan kampung. Terjadinya mobilitas terpaksa pada akhirnya mengganggu pertumbuhan masyarakat (social growth). Perpindahan penduduk secara besar‑besaran ke kota menjadi penyakit menular di tengah‑tengah kemajuan negeri yang sedang berkembang. Pergesekan keras pada tuntutan ekonomi mengumpulkan materi telah menyita perhatian utama seorang wanita tidak mampu mengangkat wajah jika tidak memiliki pekerjaan di luar rumah. Perempuan sekarang tidak mesti bergelimang di dapur, sumur dan kasur, tetapi didorong keluar dari rotasi ini, dan mesti masuk ke dalam lingkaran kantor, mandor dan kontraktor. Kondisi ini tidak jarang ikut menyumbang lahirnya “X Generation”, apabila kearifan dan keseimbangan peranan memelihara budaya dan generasi tercerabut pula.
Generasi berbudaya memiliki prinsip yang teguh, elastis dan toleran bergaul, lemah lembut bertutur kata, tegas dan keras melawan kejahatan, kokoh menghadapi setiap percabaran budaya dan tegar menghadapi percaturan kehidupan dunia. Generasi yang siap menghadapi pergolakan dan pertarungan budaya kesejagatan (global), hanyalah yang mampu menghindari teman buruk, sanggup membuat lingkungan sehat serta bijak menata pergaulan baik, penuh kenyamanan, tahu diri, hemat, dan tidak malas. Sesuai pesan Rasulullah SAW;”Jauhilah hidup ber-senang-senang (foya-foya), karena hamba-hamba Allah bukanlah orang yang hidup bermewah-mewah (malas dan lalai)” (HR.Ahmad). Generasi yang memiliki kemampuan tinggi menghadapi setiap perubahan dalam upaya mewujudkan kebaikan tanpa harus mengabaikan nilai-nilai moral dan tatanan pergaulan. Maka, kedua orang tua wajib melakukan pengawasan melekat terhadap anak-anaknya sepanjang masa. Terutama terhadap tiga prilaku tercela (buruk), yaitu dusta (bohong), mencuri dan mencela (caci maki). Sesuai sabda Rasulullah SAW; “Jauhilah dusta, karena dusta itu membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa kepada neraka” (Hadist Shahih).
Peran Perempuan sebagai Ibu adalah inti di tengah rumah tangga dan masyarakat (negara). Ibu merupakan guru pertama dalam perkataan, pergaulan dan penularan tauladan cinta kasih terhadap anak-anaknya. Kehadiran manusia kepermukaan bumi melalui satu legalitas yang disebut “keluarga”. Keluarga di bangun oleh insan berbeda jenis tapi setaraf dalam martabat ‑‑ martabat kemanusiaan ‑‑. Pembentukan satu keluarga di dalam Islam di mulai dengan satu “contract sosial”, di sebut “‘aqad nikah“, di awali dengan kesediaan dua insan berlain jenis mengikat diri dalam kehidupan yang dikenal sebagai “mu’asyarah bil ma’ruf” atau hidup dengan ikatan hak‑hak dan penunaian kewajiban‑kewajiban secara utuh dan optimal. Di mulai dengan timbang terima dari generasi pendahulu (orang tua, sebagai wali nasab) kepada generasi penerus (anak dan menantu), karena itu aqad nikah adalah ritual dan sakral. Anak generasi mestinya dipahamkan menjadi amanah Allah, yang tumbuh dan belajar melalui contoh dan permainan dari tengah lingkungannya. Melalui pendidikan keteladanan. Teladan yang baik menjadi landasan paling asas untuk membentuk watak generasi.
Perempuan Minangkabau Profil Perempuan Mandiri
Dalam keadaan seperti itu, kaum perempuan harus memaksimalkan perannya menjadi pendidik di tengah bangsa dan menampilkan citra perempuan mandiri karena berlakunya secara pasti simbol-simbol perbedaan jenis. Perbedaan kedudukan perempuan itu, memastikan berlakunya terpenuhinya hak dan terlaksananya kewajiban. “Pendidikan formal yang dapat membuat wanita sejajar dengan laki‑laki berpeluang menjadikan wanita kehilangan jati dirinya sebagai wanita. Secara tidak sadar wanita yang terpelajar itu menjadi lebih maskulin daripada laki‑laki. Ujung dari proses itu adalah ancaman kehidupan rumah tangganya”, kata Hani’ah. Selanjutnya, “Sifat feminim yang merupakan sumber kasih sayang, kelembutan, keindahan, dan sumber cahaya ilahi mempunyai potensi untuk menyerap dan mengubah kekuatan kasar menjadi sensitivitas, rasionalitas menjadi intuisi, dan dorongan seksual menjadi spiritualitas sehingga memiliki daya tahan terhadap kesakitan, penderitaan dan kegagalan.”
Sebenarnya tidak hanya ajaran Agama Islam yang mengungkapkan secara jelas peran dan citra perempuan itu. Para penulis sastera juga mengungkapkan peran perempuan Melayu (Timur) dengan pendirian yang kokoh, seperti terungkapkan dalam Syair Siti Zubaidah Perang China ; “Daripada masuk agama itu, baiklah mati supaya tentu, menyembah berhala bertuhankan batu, kafir laknat agama tak tentu.”
Perempuan Melayu dengan sifat‑sifat mulia diantaranya lembut hatinya, penyabar, penyayang kepada sesama, keras dalam mempertahankan harga diri, tegas, teguh dan kuat iman dalam melaksanakan suruhan Allah, pendamai, suka memaafkan dan mampu menjadi pemimpin masyarakatnya. Wanita Melayu juga mempergunakan akal di dalam berbuat dan bertindak, bahkan terkadang terlalu keras dan berani, seperti ditunjukkan dalam syair Siti Zubaidah, kata H. Ahmad Samin Siregar.
Kepemilikan Perempuan menurut Islam
Menjadi pemilik dari apa yang dimiliki pasangannya.
(1). Hak kepribadian
(a). Dipergauli dengan ma’ruf (QS.An‑Nisa’4),
(b). Dinafkahi menurut kelapangan dan kemampuan (QS. At‑Thalaq, 7),
(c). Dijaga rahasia yang amat karakteristik dari kepribadian perempuan, dalam rumah tangga istri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian istri (QS. Al Baqarah, 187), (d). Menghormati nasab yang diterima dari bapaknya,
(e). Perempuan mempunyai hak perlindungan dari pasangannya.
(2). Hak kepemilikan
(a). Lelaki tidak boleh menguasai harta istri, karena perempuan ada hak bagian dari harta peninggalan keluarganya (QS An Nisa’ 7),
(b). Kewajiban lelaki (suami) menyerahkan mahar kepada istri dengan kerelaan dari pihak perempuan (nihlah) (QS. An Nisa’ 4), dan mahar tidak boleh diambil lagi, tidak boleh dirampas oleh keluarga (lihat Tafsirul Khazin, I : 477), artinya apa yang sudah diberikan kepada perempuannya secara ikhlas (nihlah) tidak boleh dirampas kembali.
(c). Haram mengeksploitasi perempuan untuk berbuat serong/pelacuran (QS. An Nuur, 33), (d). tidak boleh menyulitkan perempuan,
(e). kewajiban lelaki memberikan hak‑hak perempuan secara penuh (memberi makan, pakaian) menurut kemampuan, tidak boleh memukul wajahnya, tidak boleh mencelanya, tidak boleh memisahkan dari tempat tidurnya kecuali dalam rumah sendiri (HR. Abu Daud).
(3). Hak kewenangan mengatur sirkulasi ekonomi rumah tangga
“Jika seorang isteri memberikan infaq dari makanan rumahnya dengan tidak menimbulkan kerusakan, dia akan mendapatkan pahala dari infaknya, sedangkan suaminya juga mendapatkan pahala atas usahanya, dan bagi penyimpan juga mendapatkan pahala. Sebahagian mereka tidak mengurangi bahagian yang lainnya (HR. Muslim). Dengan demikian seorang wanita (istri) dapat membelanjakan harta suaminya dengan tidak berlebihan, dan dalam hal ini suami mendapatkan pahala dari Allah.
Karena itulah Rasulullah SAW bersabda; “Apabila seorang isteri melaksanakan shalat lima kali (waktu), shaum (Ramadhan) satu bulan penuh, memelihara kemaluan (farajnya), dan mentaati suaminya, akan dikatakan kepadanya “UDKHULIL JANNATA MIN AYYIL‑ABWAAB” artinya “Masuklah kamu ke dalam syorga dari segala pintu” (HR. Ahmad).
Perempuan mempunyai kewajiban menjaga kepemilikan dibelakang pasangannya. Dan semuanya terlihat dalam hukum perkawinan menurut Islam. Dari pandangan agama Islam, bisa disimpulkan bahwa yang tidak mau mengindahkan hak-hak perempuan, sebenarnya adalah mereka yang tidak beriman atau lebih halus lagi, kurang mengamalkan ajaran agama Islam.
Di Minangkabau lebih jauh lagi, dalam hal pusako tinggi, sesuai hukum adat dikuasai oleh lini materilineal, hukum garis keibuan. Sungguhpun ada ditemui kerancuan dalam pelaksanaannya. Bahwa gender lelaki dari garis ibu menjadi penguasa dari harta pusaka, baik dalam penyerahan kepada pihak lain, menjualnya, menggadainya, tanpa mengindahkan hak-hak kaum perempuan. Kenapa ini terjadi. Jawabannya terserah kepada kepatuhan orang beradat. Sebenar hakikat dari adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah itu, adalah aplikatif, bukan simbolis.
Padang, Juli 2001.
Pada masa dahulu memang sangat banyak penulisan cerita (dongeng) tentang wanita yang melahirkan anggapan bahwa perempuan hanya sejenis komoditi penggembira, penghibur, teman bercanda, pengisi harem, peramaikan istana dan pesta, sehingga peran perempuan disepelekan seakan segelas air pelepas dahaga. Akan tetapi antara lain pemimpin, pandai, pintar, dan memiliki segala sifat keutamaan rahim, penuh kasih sayang, makhluk pilihan, pendamping jenis kelamin lain (laki‑laki).
Bila Annisa’‑nya baik, baiklah negeri itu, dan bila Annisa’‑nya rusak, celakalah negeri itu (Al Hadits). Sorga di bawah telapak kaki ibu (Ummahat). Kaidah Alqurani menyebutkan, Nisa’‑nisa’ kamu adalah perladangan (persemaian) untukmu, kamupun (para lelaki) menjadi benih bagi Nisa’‑nisa’ kamu. Kamu dapat mendatangi ladang‑ladangmu darimana (kapan saja). Karena itu kamu berkewajiban menjaga anfus (diri, eksistensi dan identitas) sesuai perintah Qaddimu li anfusikum, dengan selalu bertaqwa kepada Allah (Q.S.2:23).
“Ibu (an-Nisak) adalah tiang negeri” (al Hadist). Jika kaum Ibu dalam suatu negeri (bangsa) berkelakuan baik (shalihah), niscaya akan sejahtera negeri itu. Sebaliknya, bila kaum Ibu disuatu negeri berperangai buruk (fasad) akibatnya negeri itu akan binasa seluruhnya. Selain itu, banyak hadist Nabi menyatakan pentingnya pemeliharaan hubungan bertetangga, menanamkan sikap peduli, berprilaku mulia, solidaritas tinggi dalam kehidupan keliling.
Diantaranya sabda SAW; “Demi Allah, dia tidak beriman”, “Siapakah dia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu, orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan-kejahatannya”. (Hadist diriwayatkan Asy-Syaikhan). Hadist lainnya; “Tidaklah beriman kepadaku orang yang perutnya kenyang, sedangkan tetangganya (dibiarkan) kelaparan disampingnya, sementara dia juga mengetahui (keadaan)nya” (HR.Ath-Thabarani dan Al Bazzar). Penekanan pentingnya pendidikan akhlak Islam, “Satu bangsa akan tegak kokoh dengan akhlak (moralitas budaya dan ajaran agama yang benar)”. Tata krama pergaulan dimulai dari penghormatan di rumah tangga dan dikembangkan kelingkungan tetangga dan ketengah pergaulan warga masyarakat (bangsa), sesuai QS.41, Fush-shilat, ayat 34.
Rasulullah SAW menyebutkan bahwa; “Sorga terletak dibawah telapak kaki Ibu”(al Hadist). Sahabat Abu Hurairah RA., meriwayatkan ada seseorang bertanya kepada Rasulullah; “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku pergauli dengan cara yang baik?”. Beliau menjawab, “Ibumu”. (sampai tiga kali), baru terakhir Beliau menjawab, “Bapakmu”. (HR.Asy-Syaikhan). Hadist lainnya ditemui pula; Shahabat Abdullah Ibn ‘Umar menceritakan, “Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya”. (HR.Asy-Syaikhan). Disiplin tumbuh melalui pendidikan akhlak, teladan paling ideal dimata anak (generasi), Menanamkan ajaran agama yang benar (syari’at). Jangan berbuat kedurhakaan. Memperkenalkan hari akhirat, sebagai tempat kembali terakhir. Dalam rangka berbakti kepada dua orang tua (birrul walidaini) diajarkan supaya jangan berkata keras. Harus bergaul dengan lemah lembut, dan menyimak perintah kedua orang tua dengan cermat. Jangan bermuka masam (cemberut) kepada keduanya, tidak memotong perkataan keduanya, serta mengajarkan dialog (mujadalah) dengan cara baik (ihsan). Bimbingan Kitabullah menyebutkan dengan sangat jelas sekali. (QS.17, al-Israk; ayat 234-24). Dalam wahyu lainnya, (QS.46, al Ahqaaf; ayat 15-16).
Generasi yang menolak kebenaran (al-haq) dari Allah, akan berkembang menjadi generasi permissif (berbuat sekehendak hati) dan menjadi mangsa dari perilaku anarkisme dan hedonisme sepanjang masa. Inilah generasi yang lemah (loss generation), yang tercerabut dari akar budaya dan agama. Allah SWT memperingatkan (QS: 46, al-Ahqaaf, ayat 17-18). Maka birrul walidaini (berbakti kepada dua orang tua), merupakan pelajaran dasar satu generasi, yang harus di turunkan turun temurun. Nabi Muhammad SAW, bersabda; “Berbaktilah kepada bapak-bapak (orang tua) kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbakti pula kepada kalian. Dan tahanlah diri kalian (dari hal-hal yang hina), niscaya istri-istri kalian juga akan menahan diri (dari hal-hal yang hina)”.(HR. Ath-Thabarani).
Walaupun tidak jarang terjadi, kalangan liberal seringkali merendahkan atau menolak peran perempuan sebagai ibu di dalam rumah tangga. Melahirkan dan mengasuh anak dilihat sebagai suatu peran yang out of date. Bila seseorang memerlukan anak bisa ditempuh jalan pintas melalui adopsi atau mungkin satu ketika dengan teknologi kloning (?).
Satu generasi yang bertumbuh tanpa aturan, jauh dari moralitas, berkecendrungan meninggalkan tamaddun budayanya. Tercermin pada perbuatan suka bolos sekolah, memadat, menenggak minuman keras, pergaulan bebas, morfinis, dan perbuatan tak berakhlak. “X”, mereka hilang dari akar budaya masyarakat yang melahirkannya. Disinilah pentingnya peran ibu. Semestinya para perempuan (ibu) yang memelihara perannya sebagai ibu berhak mendapatkan “medali” sebagai pengatur rumahtangga dan ibu pendidik bangsa. Inilah darma ibu yang sesungguhnya, yang sebenar-benar darma.
Anak-anaknya (generasi pelanjutnya) senantiasa akan berkembang menyerupai ibu dan bapaknya. Peran pendidikan amat menentukan, karena pendidikan adalah teladan paling ideal dimata anak (lihat Nashih ‘Ulwan, dalam Tarbiyatul Aulaad). Jika ibu menegakkan hukum-hukum Allah, begitu pula generasi yang di lahirkannya. Urgensi pelatihan ibadah untuk anak sedari kecil dengan membiasakan mengerjakan shalat dan ibadah (puasa, shadaqah, mendatangi masjid, menghafal Alquran) akan menjadi alat bantu utama melatih disiplin anak dari dini.
Sabda Rasulullah SAW. membimbingkan; “Suruhlah anak-anak kamu mengerjakan shalat, selagi mereka berumur tujuh tahun, dan pukulllah mereka (dengan tidak mencederai) karena meninggalkan shalat ini, sedang mereka telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR.Abu Daud dan Al Hakim).
(Hani’ah, “Wanita Karir dalam Karya Sastra: Ada Apa Dengan Mereka?”, makalah Munas IV dan Pertemuan Ilmiah Nasional VIII, HISKI 12‑14 Desember 1997 di Padang).
(Syair Siti Zubaidah Perang China, Edisi Abdul Muthalib Abdul Ghani, hal. 230).
Ibid. Pendapatnya diketengahkan pada Munas PIN VIII, HISKI 12-14 Desember 1997 di Padang.